Psikologi II
Disclaimer!!
Cerita ini adalah karya fiksi. Nama, karakter, tempat, dan insiden adalah hasil dari imajinasi penulis atau digunakan secara fiktif. Segala kesamaan dengan orang nyata, hidup atau mati, kejadian nyata, atau tempat nyata adalah kebetulan belaka.
Mengingat Kesulitan
Di dalam ruang hening ini, aku duduk sendiri, terbenam dalam pikiranku. Cahaya redup dari lampu di sudut ruangan menyoroti bayangan-bayangan yang menari di dinding. Di sini, di tengah keheningan, aku dihadapkan pada refleksi dari masa-masa tersulit dalam hidupku.
"Ingatlah masa-masa tersulitmu agar kamu berlapang hati." Kalimat itu terus terngiang dalam benakku. Aku melihat diriku yang dulu, ketika segalanya terasa begitu gelap dan penuh ketidakpastian. Ketika rasa putus asa menghantui setiap langkah, dan ketakutan merayap dalam setiap detik yang kujalani.
Aku ditahan oleh militer karena melakukan provokasi. Mereka bilang aku menghasut massa, bahwa pidatoku menyulut kemarahan. Tapi aku hanya ingin keadilan, aku hanya ingin perubahan. Kini, di ruangan dingin ini, hanya ada aku dan pikiranku.
Mereka membawa aku ke sini dengan tangan terikat, mata tertutup, dan hati penuh kecemasan. Setiap malam tanpa tidur, setiap air mata yang jatuh, semuanya menjadi bagian dari perjalanan ini. Aku mengingat saat-saat di mana aku merasa paling rapuh, ketika dinding-dinding ketidakberdayaan seolah menutup semua jalan keluar.
Namun, aku bertahan. Aku melangkah maju, meski kadang harus tertatih. Setiap interogasi yang penuh tekanan, setiap ancaman yang dilemparkan, hanya memperkuat tekadku. Di situlah, dalam kegelapan terdalam, aku menemukan cahaya. Cahaya dari kekuatan yang tersembunyi dalam diriku, dari keberanian yang tak pernah kusangka ada.
Pintu besi di ujung ruangan berderit ketika dibuka. Dua tentara masuk, mengawasi setiap gerakanku dengan mata tajam.
"Waktunya interogasi lagi," kata salah satu dari mereka dengan suara dingin. Mereka mengangkatku dari kursi, menarik tanganku yang terikat, dan membawaku keluar.
Koridor itu panjang dan suram. Lampu-lampu neon berkedip, membuat bayanganku tampak seolah menari di dinding. Setiap langkah terasa berat, setiap tarikan napas terasa menyakitkan. Tetapi di dalam hati, aku tetap teguh. Aku tahu bahwa aku harus bertahan.
Mereka membawaku ke ruangan kecil dengan meja dan kursi logam di tengahnya. Aku didudukkan di salah satu kursi, sementara salah satu tentara berdiri di sudut ruangan, mengawasi dengan senjata siap. Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian seragam militer masuk. Wajahnya penuh ketegasan dan matanya mencerminkan kekejaman.
"Jadi, kamu pikir bisa menghasut massa dan lolos begitu saja?" Suaranya berat dan penuh ancaman. "Kamu pikir pidatomu bisa mengubah sesuatu?"
Aku menatap matanya dengan keberanian yang baru kutemukan. "Aku cuma ingin keadilan. Aku cuma ingin perubahan."
Pria itu tertawa sinis. "Keadilan? Perubahan? Di negara ini? Kamu naif sekali." Dia mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku. "Kami akan menghancurkanmu. Kami akan membuatmu menyesali setiap kata yang keluar dari mulutmu."
"Aku tidak takut padamu," jawabku tegas. "Aku tahu apa yang kuperjuangkan dan aku tidak akan mundur."
Dia memukul meja dengan keras, membuat suara bergema di seluruh ruangan. "Berani sekali kamu! Kamu tahu apa yang bisa kami lakukan padamu?"
"Tentu, aku tahu," balasku. "Tapi aku juga tahu bahwa kalian tidak bisa menghentikan perubahan. Kalian tidak bisa membungkam kebenaran."
Pria itu tersenyum kejam. "Kita lihat saja seberapa lama kamu bisa bertahan dengan sikap keras kepala itu."
Setiap ancaman dan pukulan hanya memperkuat tekadku. Aku tahu bahwa meskipun saat ini mungkin terasa berat, aku telah melewati masa-masa yang lebih kelam. Dan dari setiap kesulitan, aku tumbuh menjadi versi diriku yang lebih baik.
Setelah beberapa jam interogasi yang brutal, dia akhirnya menyerah dan pergi, meninggalkan aku dalam keadaan babak belur. Dua tentara yang mengawasi dari sudut ruangan kembali menghampiri. Salah satu dari mereka menatapku dengan tatapan yang lebih lembut dibandingkan sebelumnya.
"Kamu nggak perlu melakukan ini," katanya pelan.
"Aku harus," jawabku. "Kalau bukan aku, siapa lagi?"
Dia hanya mengangguk pelan, kemudian bersama rekannya, mereka membawaku kembali ke sel. Ketika mereka mengunci pintu besi di belakangku, aku tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai. Dan aku siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
"Ingatlah masa-masa tersulitmu agar kamu berlapang hati." Kata-kata itu kini bukan sekadar nasihat, tapi mantra yang membimbing langkahku. Mereka adalah pengingat bahwa di balik setiap penderitaan, ada kekuatan yang menanti untuk ditemukan. Dan aku, dengan segala kerentanan dan keteguhanku, adalah bukti hidup dari kebijaksanaan tersebut.
Comments
Post a Comment